Budaya Knowledge Management, Mungkinkah..?

BUDAYA KNOWLEDGE MANAGEMENT, MUNGKINKAH?Bayangkan suatu saat dimana seorang mandor menemukan masalah dalam kerja dan mencari berbagai solusi yang mungkin hingga meraih ‘aha..’, kemudian berbagi pengetahuan melalui fasilitas IT yang friendly used sehingga pada saat yang berbeda, karyawan lain yang berada di kebun yang berbeda, juga dengan memanfaatkan fasilitas IT, dapat mengatasi masalah yang sama dengan segera karena pemecahan masalah sang mandor tadi sudah diabadikan menjadi knowledge asset PTPN III, dan hal ini menjadi bagian dalam aktivitas kerja sehari-hari. Mungkin nggak ya..? Andai terealisasi, dampaknya bagi efisiensi waktu, biaya, dan peningkatan kompetensi, itu pasti. Peningkatan produktivitas dan kemampuan adaptasi bisnis perusahaan, apalagi. Beberapa sisi lebih dari KNOWLEDGE MANAGEMENT (KM). Istilah yang selalu digaungkan Top Management untuk diterapkan untuk mengantarkan PTPN III menjadi knowledge company yang berbasis pada knowledge worker. Dari imajinasi di atas tampak bahwa KM bukan hanya teknik untuk mengelola knowledge asset (aset pengetahuan), bukan hanya menyangkut penyediaan perangkat yang memfasilitasi pertukaran knowledge antar karyawan, tetapi juga membangun budaya belajar (learning) dan mau terus berbagi (sharing) knowledge yang didapat hingga budaya itu melekat dalam nafas kehidupan perusahaan. Mau digarisbawahi karena tidak semua orang berkenan membagi yang dia tahu. Pertanyaan manusiawi yang sering timbul merespons permintaan sharing adalah, “Apa untungnya bagi saya untuk berbagi dengan yang lain ?” dan “Apakah orang lain juga mau berbagi seperti yang saya lakukan ?”. Untuk merubah (transformasi) budaya enggan ber-learning dan sharing pengetahuan, teknik, pengalaman ataupun ide dalam KM sebenarnya bukan hal yang terlalu sulit. Bergerak dari sifat alamiah manusia, banyak hal yang bisa dikembangkan, misal :

  1. Memberi fasilitas untuk mendapatkan berbagai informasi yang dibutuhkan dan memberi kesempatan yang luas dalam menyampaikan pendapat, ide, kritikan, dan komentar ataupun melakukan presentasi.
  2. Adanya komitmen dari manajemen melalui kebijakan, anjuran dan memberi teladan (contoh) knowledge sharing dalam berbagai kesempatan. Keteladanan dapat dilakukan melalui pembuktian bahwa dengan saling berbagi pengetahuan dan pengalaman, semua masalah dapat dipecahkan secara lebih mudah, efisien dan cepat. Kepemimpinan dalam KM adalah secara terus menerus dan konsisten memberi inspirasi kepada karyawan tentang aktivitas dan manfaat KM secara nyata bagi semua elemen organisasi. Pemimpin harus menciptakan iklim bahwa seorang karyawan tidak lagi merasa sendirian dalam memecahkan masalah apapun dalam pekerjaan.
  3. KM menjadi bagian dari aktivitas harian, bersamaan dengan waktu kerja dan tidak mengubah cara kerja.
  4. Menyusun sistem rewarding (pemberian penghargaan) bagi karyawan yang sudah berkenan berbagi knowledge. Sistem rewarding dapat dilakukan melalui proses penilaian sebelumnya. Penilaian dilakukan untuk jangka waktu tertentu. Sistem penilaian yang dipilih bisa saja per Distrik/General/Bagian/Unit dengan sistem penilaian 360 derajat yang melibatkan penilaian diri, sesama rekan kerja, bawahan dan atasan bahkan stakeholders mengenai frekwensi knowledge sharing. Knowledge dimaksud tentu yang dapat langsung diterapkan untuk memecahkan masalah pekerjaan yang dihadapi sesama karyawan. Yang dinilai paling sering berbagi diberi reward dalam berbagai bentuk, misal : bentuk uang, mengikuti berbagai training/seminar yang diinginkan, pemberian buku yang bermutu tinggi, paket wisata, dll. Banyak alternatif sistem penilaian lainnya yang dapat dikembangkan dalam proses pemberian reward knowledge sharing ini. Akan lebih klop lagi jika selanjutnya ke depan, sistem penilaian dan penghargaan knowledge-sharing ini dijadikan satu dengan sistem penilaian karya.

Hal-hal lain yang merupakan wujud knowledge sharing seperti berbagi pengetahuan yang didapat dari hasil baca buku juga perlu diapresiasi dengan sistem reward oleh manajemen agar imbauan itu direspons positif, apalagi jika mereka tahu bahwa pengetahuan yang mereka bagi ‘berarti’ dan dapat termanfaatkan orang lain, tidak hanya menjadi barang koleksi perusahaan yang pada akhirnya akan mempersempit tempat penyimpanan. Kesannya, kok materialistis sekali ya.. Tapi memang demikianlah kenyataannya, tak banyak manusia yang mau berbuat tanpa embel-embel pamrih. Bahasan di atas lebih mengarah ke sekelumit peran Bagian SDM dalam aplikasi KM. Tapi, sebenarnya siapa yang seharusnya mengelola KM ini ? Bagian Teknologi Informasi yang expert dalam bidang IT kah, Bagian SDM yang me-manajemeni karyawan kah, Bagian PTB sebagai inspirator berbagai sistem kah, atau Bagian Sekretariat Perusahaan yang mengelola perpustakaan ? Siapapun pengelolanya kelak, apakah keroyokan atau solo, penulis ingin memulai aplikasi knowledge sharing melalui media ini yang mungkin bisa bermanfaat bagi para thinker yang bakal mengelola KM.Knowledge itu sendiri merupakan informasi yang dilengkapi dengan pemahaman (pengetahuan) yang bersumber dari pengalaman, pelatihan, keahlian/kecakapan dan terapan individu maupun kelompok, yang dapat dijadikan dasar bagi orang lain dalam atau luar perusahaan untuk pengambilan keputusan atau tindakan, dan menjadi inspirasi kelahiran inovasi-inovasi baru. Yang dikatakan knowledge tentu tidak hanya yang tertulis, yang terucapkan juga dapat diklasifikasikan knowledge. Ada 2 jenis knowledge yaitu Explicit knowledge yang jumlahnya hanya berkisar 5% saja dan Tacit knowledge yang jumlahnya sebenarnya sangat besar, sekitar 95%. Explicit knowledge merupakan bentuk pengetahuan tertulis yang sudah terdokumentasi, mudah disimpan, diperbanyak, disebarluaskan dan dipelajari. Di PTPN III termasuk di dalamnya : kebijakan yang terdokumentasi, materi pelatihan, karya tulis inovatif, laporan hasil benchmark, hasil evaluasi kinerja, laporan purna bhakti, hasil skill sharing, pedoman kerja yang mendukung pelaksanaan kerja seperti proses bisnis, SOP, Code of Conduct, Internal Audit Chartered, PKB,dll. Sementara Tacit knowledge merupakan bentuk pengetahuan yang masih tersimpan dalam pikiran manusia, seperti gagasan, persepsi, cara berfikir, pemahaman, kiat-kiat pribadi, wawasan, keahlian/kemahiran, dsb. Explicit Knowledge membutuhkan sentuhan IT dan perpustakaan (dalam bentuk hard copy) agar knowledge yang ada dapat tertampung sebagai knowledge asset, terdokumentasi, terkumpul, terorganisir secara sitematis, terkendali, terpelihara, dapat dimanfaatkan secara maksimal dan mudah di-access. Ini memang bukan pekerjaan yang mudah tapi tak terelakkan jika ingin go KM. Sementara untuk Tacit Knowledge, perusahaan harus mampu mencari dan mengidentifikasi Siapa yang mengetahui Apa, yang bermanfaat (memiliki value added) bagi perusahaan, dan mendorongnya agar termanifestasi menjadi explicit knowledge. Hal ini dapat dilakukan dengan menggunakan tools berupa angket maupun pendekatan khusus sebagaimana sudah dijelaskan sebelumnya di atas terkait sistem rewarding.Dari uraian di atas, Penulis coba simpulkan bahwa di era informasi dan penuh persaingan ini, KM menjadi kebutuhan, tidak hanya untuk konsumsi internal, tapi juga konsumsi external, supplier, mitra dan pelanggan. Untuk suksesnya KM, linking antar bagian menjadi sangat penting. Andai masing-masing berkenan menyumbangkan perannya, KM dan budayanya bukan hal mustahil buat PTPN III, apalagi infrastruktur yang ada sudah mendukung.Memang, pengaruh aplikasi KM tidaklah akan spontan terlihat dan terasakan, tapi untuk tahap awal minimalnya ditujukan untuk memenuhi kriteria 4.2. nya Baldrige Criteria. Mana tau, skor Baldrige PTPN III 2006 yang 467 dapat lebih melejit lagi di tahun-tahun berikutnya dan cita-cita menjadi world class company semakin membayang dan menampakkan bentuknya. Amin.(Telah dikirim ke Media Nusa Tiga Des ‘06, tapi belum tau memenuhi kriteria or nggak untuk dimuat)

Sumber :

http://forum.ptpn3.co.id/?q=node/18

This entry was posted in Ilmu Pengetahuan. Bookmark the permalink.

Comments are closed.